This is me

Leave a Comment

Lahir di Bandar Lampung. Hidup dari keluarga kecil sangat bahagia. Bersama orang tua dan seorang kakak, menempati sebuah rumah kecil blok L no. 19 di perumahan Way Halim. Perumahan sederhana, tidak ada gerbang, membentang dari Barat ke Timur. Di depannya ada perumahan sedikit elit bernama Puri, tempat anak-anak biasa bermain. Di sana terdapat taman yang luas beserta mainan layaknya di taman kanak-kanak. Di antara blok L dan M ada mushola kecil tempat biasa kami mengaji dan tarawih, yah walaupun sebagai anak-anak, tarawihnya tidak pernah serius. Yang penting mah buat mencatat buku ceramah, tugas dari sekolah. Tulisan di bukunya digede-gedein supaya tulisannya cepet penuh :D.

Gue memulai karir persekolahan dengan langsung menduduki TK kelas nol besar di TK Al-Azhar IV, deket pasar Way Halim. Biasanya sih dianter mbak Dati ke sekolah naek sepeda. Pernah suatu hari, sekolah pulang cepet, karena mbak Dati gak tau, jadinya dijemputnya telat deh. Lanjut sekolah ke SD Al-Azhar, deket pasar juga. Kayaknya segala sesuatu harus ditempatkan di pasar kali ya. Ditempatkan di kelas 1G, kelas paling bontot dan ujungnya lorong sekolah. Ntah karena gue paling bego atau nyokap daftarnya telat sehingga gue masuk ke kelas itu. Sebagai catatan, di SD itu tiap tingkatan kelasnya ada 2 kelas yang dijadikan kelas unggulan, pada kelas 1, kelas 1A dan 1B merupakan unggulannya. Jadi, kebayang deh 1G itu bontot banget. Mulai memasuki kelas 2, gue bersyukur naek kasta ke kelas unggulan, walaupun hanya unggulan dua. Di akhir tahun kelas 2 inilah kejadian yang masih membekas sampai sekarang, patah tulang tangan kanan.


Di masa liburan lah kejadian tersebut. Sehingga pada awal masuk kelas 3, gue harus menggunakan perban di tangan dengan menggantung di leher. Tangan kiri gue gak bisa bergerak, sama sekali. Mungkin gue gak boleh berada di kelas unggulan kali ya, soalnya di kelas 3 gue masuk unggulan pertama. Dengan kondisi menggendong tangan, gue malah dipilih sebagai ketua kelas oleh wali kelas. Namanya anak kecil mah pasrah, menerima segala keadaan apa adanya. Sepanjang caturwulan pertama, gue lebih banyak izin dari sekolah, bolak-balik ke Pandeglang buat pengobatan. Untungnya ada wakil ketua kelas yang membantu pekerjaan sehari-hari. Secara sebagai ketua kelas itu berat banget tugasnya, harus mengangkut kursi dan meja, membersihkan toilet, jagain bendera di lapangan, atau harus ngasih makan kucing di kantin. Kadang berangkat ke Pandeglang sama nyokap, kadang berangkat sama bokap, sekali-kali berangkat semuanya.Seru sih perjalanannya, tapi kalo mengingat biaya yang dikeluarkan orang tua jadi sedih. Ya namanya juga orang tua bekerja sebagai PNS, uang banyak habis buat bayar cicilan ini itu, termasuk rumah. Prestasi jeblok di cawu pertama, hancur. Gue menempati ranking 10. Ranking 10 bukan berarti 10 orang pertama yang terbaik. Karena 1 peringkat bisa ditempati oleh lebih dari satu orang. Gue cuma bisa pasrah, karena memang sangat jarang masuk kelas. Kalau tidak salah jumlah hari izin gue itu 33 hari, hampir memakan semua hari dalam satu cawu yang hanya sekitar 96 hari. Tapi gue gak menyerah, cawu kedua gue bangkit seiring makin jarang gue berobat. Gue bertekad menebus semua biaya yang dikeluarkan orang tua, walapun tidak dengan uang.

Selepas cawu dua kelas 3, kondisi gue membaik. Gue sudah dapat menjalani tugas dengan baik. Prestasi sekolah pun makin menanjak pake lift walaupun gue belum mengenal lift saat itu. Btw, gue mengenal lift kayaknya pas SMA deh. Uniknya SD gue adalah seringnya terjadi perubahan dalam penempatan anak di dalam suatu kelas. Sehingga dari kelas 1 sampai kelas 6 akan sangat jarang menemui anak yang selalu sekelas selama 6 tahun. Sempat mengikuti lomba kaligrafi di kelas 5, walaupun gagal. Tapi malah menang lomba aksara Lampung di kelas 6, padahal gue kan keturunan Jawa. Pada kelas 6 itulah, merasa seperti berada di puncak karir, puncak karir seorang anak SD. Di tahun itu akan ada ujian akhir nasional, deg-degan abis. Apalagi tahun itu sudah menerapkan sistem lembar jawaban komputer. Kita bahkan bingung pake pensil yang mana buat ujian, karena semua merk pensil dicoba buat ujian.

Lulus dengan nilai yang cukup baik. Bukan yang terbaik, tapi alhamdulillah dapat masuk ke SMP Negeri terbaik di Bandar Lampung. Gue melanjutkan ke SMP Negeri 2 Bandar Lampung, mengikuti jejak kakak gue yang sudah dua tahun berada di sana. Gue merasa keren banget masuk SMP itu, apalagi katanya banyak orang-orang keren pernah bersekolah di sana. Sempat menjadi juara matematika di Bandar Lampung (walaupun juara 3) di akhir sekolah, gue melanjutkan ke SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

Di SMA ini, sudah ada kelas akselerasi, kelas percepatan, kelas yang cuma 2 tahun SMA-nya. Pada saat gue masuk, kelas tersebut masuk di tahun kedua. Gue tidak terpikirkan sedikit pun untuk masuk kelas tersebut. Namun, karena nilai gue termasuk yang boleh ikut proses seleksi, nyokap pun agak sedikit memaksa agar gue ikut seleksi. "Kali aja lolos, kan keren tuh SMA cuma 2 tahun", kata nyokap. Tesnya lumayan susah, kalau yang udah pernah tes-tes masuk kerja pasti pernah mengalami tes ini. Tapi lebih susah (menurut gue). Selain, IQ atau kecerdasan ada tes kreativitas dan tes komitmen, di samping tes lainnya.

Mungkin karena nyokap pengen banget gue masuk kelas itu, gue pun lolos seleksi, tergabung bersama 19 orang lainnya (doa orang tua emang canggih). Pengalaman-pengalaman di SMA lebih berasa tapi cepet banget (yaiyalah cuma 2 tahun). Seisi kelas semuanya diberi kesempatan untuk ikut olimpiade sains yang biasa diadakan dikti. Dan gue dengan polosnya milih bidang komputer, gue sendiri, yang lain pada milih matematika, fisika, kimia, atau biologi. Di tahun pertama gue sekoalh, bidang yang lain diadakan seleksi untuk dijadikan wakil sekolah mengikuti olimpiade tingkat kota. Bidang komputer,,, karena sedikit peminat, maka semua peserta yang dilatih di bidang komputer yang sudah kelas 2 diikutkan semua ke tingkat kota. Gue, karena diitungnya udah kelas 1.5, maka dimasukkanlah gue dalam peserta olimpiade. Di bidang lain yang diseleksi, ada temen sekelas juga yang lolos dan menjadi peserta olimpiade.

Gue inget banget, pada saat perlomabaan ini gue dalam proses perpindahan rumah dari Way Halim ke Gunung Terang. Karena rumah di Gunung Terang belum jadi, kami sekeluarga ngontrak rumah, padahal rumah kontrakannya juga seperti belum selesai dibangun. Jadilah gue persiapan olimpiade seadanya, ya secara kontrakanya aja belum dikeramik. Mau belajar gaya tidur-tiduran di lantai kayak di rumah lama udah gak bisa. Jadinya ya ngandelin apa yang diajarin pelatih olimpiade sekolah yang emang guru komputer di sekolah juga.

Perlombaan berlangsung monoton, gak seru kayak MotoGP. Yaiyalah, orang lombanya pada diem semua ngerjain soal. Gue santai, gak ada beban, kan gue cuma ditunjuk tanpa seleksi. Temen gue yang lolos ikut juga ada di bidang matematika dan fisika. Seperti tidak terjadi apa-apa, kita biasa aja dalam olimpiade itu, kan baru tahun pertama, wajar toh gak menang. Beda kalo ujian semesteran, kalo nilai jelek bisa gawat!!

Senin, upacara pagi di lapangan sekolah seperti biasa. Sebelumnya tidak ada woro-woro dan kisworo akan ada pengumuman olimpiade. Karena akses internet juga belum secanggih sekarang, jadinya cuma ngandelin pengumuman via microphone kayak di upacara. Dua bidang yang diikuti temen gue dibacaain duluan pemenangnya. Dan temen gue menang juara 3, dua-duanya (anjr*t, pikir gue), koq mereka bisa menang sih. Padahal itu kan lomba seluruh SMA di Bandar Lampung termasuk swasta yang bayarannya lebih mahal.


Pada saat bidang komputer disebutkan, tersebutlah nama gue. Senangnya #ihik. Bukan cuma asal disebut nama gue, nama gue disebut paling akhir yang artinya gue juara 1, abis nama gue disebut gue langsung digebukin temen sekelas plus temen kelas sebelah, babak belur. Kakak gue udah kelas 3 saat itu dan berada di lapangan yang sama saat pengumuman. Di rumah dia cerita, bahwa temen-temen sekelasnya justru memberi selamat bukan kepada dia sebagai kakak gue tapi justru pada ngasih selamat kepada ka Yudha, kalau gak salah sih mereka baru jadian waktu itu.

Perjalanan nilai gue selama SMA memang suram tidak bisa dibilang bagus. Ya gue emang gak bisa belajar cepet banget kayak gitu. Tapi mungkin berkat gue pernah menang olimpiade gue lolos PMKA nya IPB, belum ada jurusan waktu itu, karena jurusan ditentukan di tingkat 2 perkuliahan. Dibandingkan nilai rapor temen-temen gue yang lolos juga ke IPB gue emang paling kecil, makanya gue bersyukur banget bisa lolos ke IPB tanpa tes (--,).

Singkat cerita gue menghabiskan masa kuliah gue 4 tahun di IPB, gak pernah pindah-pindah kampus, di jurusan Statistika. Hingga pada akhirnya gue lulus dari sana dan mendapatkan pekerjaan yang baik.
Alhamdulillah.

0 comments :

Post a Comment